Refleksi 2 Tahun Menjadi Pendidik

Rian Mantasa Salve Prastica
Universitas Gadjah Mada

Lebih dari 2 bulan lalu, notifikasi WhatsApp-ku berdering dari orangtuaku. “Kakek akan segera dimakamkan. Pulang ya.” Saat itu masih pagi buta, Subuh yang dingin seperti biasa. Setelah aku minum air hangat, semua kembali menjadi dingin saat notifikasi pesan itu datang. Tiba-tiba hatiku bergemuruh, tanganku gemetar memegang apapun yang ada di sekitarku saat itu. Tiba-tiba kakiku tidak bisa digerakkan dan aku menutup mata. Masih berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah mimpi. Ternyata, sia-sia satu jam hanya terdiam, aku memutuskan pulang. Aku tidak bisa menangis. Entah kenapa pikiranku tidak bisa diajak bekerjasama. Hatiku kebas.

Setelah sampai di rumah, aku menuju ke kediaman kakekku. Dan aku masih belum bisa menangis. Sampai akhirnya, Bapak datang. Beliau tegar menggendong bapaknya yang terakhir kali. Tiba-tiba, saat itulah aku merasakan pipiku basah. Deras sekali mengalir.

Dan waktu cepat berlalu. Memang benar, yang paling berat bukanlah orang yang “pergi”, yang paling berat adalah orang yang “ditinggalkan”.

Aku melihat banyak sekali kuburan-kuburan yang juga masih baru. Lalu, aku terdiam lama sekali. Bukankah ini akhirnya? Bukankah aku juga akan berakhir di tempat yang sama? Lalu, apa yang aku cari selama ini?

—————————————— OOO ———————————————-

“Aku ingin menjadi guru.” Begitu aku mengatakan kepada orangtuaku bertahun-tahun silam. Tidak dipungkiri bahwa orangtua generasi millenials, generasi X, Y, maupun Z, banyak yang berpikir bahwa mereka berhak untuk menentukan pekerjaan apa yang harus dimiliki anaknya. Orangtuaku pun dulu demikian. Sepertinya menjadi dokter akan membuat kita menjadi spesial di mata banyak orang. “Apa yang bisa dibanggakan menjadi pendidik?”

Perdebatan itu terjadi lama sekali sampai akhirnya orangtuaku berhasil setuju dengan pilihanku sendiri. Aku tidak ingin membahagiakan tetangga dan orang lain. Mereka tidak merawatku ketika sakit. Aku tidak ingin membahagiakan tetangga dan orang lain. Mereka tidak menangis saat aku masuk ICU dan hampir kehabisan nafas. Aku tidak ingin membahagiakan tetangga dan orang lain. Mereka tidak menangis saat aku tidak bisa membayar uang SPP. Aku tidak ingin membahagiakan tetangga dan orang lain. Mereka tidak pernah menggendongku keliling kebun binatang. Aku tidak ingin membahagiakan tetangga dan orang lain. Mereka tidak menangis saat aku kecelakaan. Mereka tidak menggendongku melewati banyak orang di aula rumah sakit dan berteriak ketika banyak belalai infus masuk ke tubuhku.

Itulah kenapa mereka tidak berhak menilai apa yang aku pilih.

—————————————— OOO ———————————————-

Menjadi pendidik bukanlah hal yang istimewa. Melihat kondisi guru-guru kita di sini, mereka ikhlas dibayar berapa saja demi sumber daya manusia yang berkualitas, apakah mereka dapat hidup dengan layak? Siapa yang peduli? Itulah kenapa menjadi seorang pendidik bukan jalan yang dipilih banyak orang. Ia bukanlah suatu pekerjaan yang mendapat gemuruh tepuk tangan.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Bukan. Kata orangtuaku, pahlawan akan berjuang untuk bangsanya sendiri. Tentu itu bukan pilihan kata yang tepat. Guru bukan berjuang untuk kalangannya sendiri. Menjadi guru berarti ia menjadi pejuang. Karena pejuang, ia berjuang untuk semua orang.

Untuk teman-teman yang hadir dan memilih berada di ruang-ruang kelas, bersama murid, bersama mahasiswa, terima kasih, telah memilih jalan terhormat. Membersamai generasi-generasi berikutnya.

Tentu pada akhirnya kita akan berakhir di tempat yang sama. Semoga apapun pilihan yang kamu pilih, dapat memberikan banyak jalan terang ke akhir perjalanan kita di dunia. Teman-teman yang memilih menjadi pendidik, atau yang besok ingin menjadi pendidik, semoga apapun yang kamu lakukan selalu dinilai kebaikan. Dan kebaikan itu akan berlipat ganda saat ilmu yang kalian berikan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang. Bukankah itu tujuan menjadi pendidik yang sebenarnya?

Mengarahkan. Membuka peluang-peluang baru. Membuka kesempatan-kesempatan baru. Kesempatan bagi mereka yang “tidak punya”. Membuka kesempatan baru untuk melihat dunia yang lebih luas.

—————————————— OOO ———————————————-

Teman-teman, Bapak/Ibu Guru/Dosen, pendidik, izinkan saya menyampaikan kerinduan ini:

Hari pertama saat Bapak/Ibu memutuskan menjadi seorang pendidik sepertinya Bapak/Ibu adalah orang yang paling kaya hatinya. Saat banyak siswa yang tidak taat aturan, mahasiswa yang membangkang, tugas-tugas yang terabaikan, nasihat yang tidak dihiraukan, amanah yang tidak terbalas. Sungguh, Bapak/Ibu telah menjadi orang yang paling kaya hatinya. Bapak/Ibu tetap sabar. Bapak/Ibu tetap mau membimbing. Mengapa Bapak/Ibu tetap melakukannya?

Hari pertama saat Bapak/Ibu memutuskan menjadi seorang pendidik, Bapak/Ibu adalah barisan terdepan di negara kita untuk urusan akhlak dan tata krama. Bapak/Ibu harus mengarahkan. Memberikan petuah mana yang baik mana yang buruk. Ingin rasanya aku menyampaikan ini secara langsung sebelum saya lulus saat wisuda misalnya. Namun, aku malu. Maka, izinkan saya menyampaikan pesan ini. Saat hari pertama Bapak/Ibu memutuskan menjadi pendidik, Bapak/Ibu menjadi orang paling gagah di garda terdepan masa depan bangsa ini. Tapi tetap saja, dengan tubuh ringkih dan tua, banyak mahasiswa yang tidak tahu adab, bahkan ada yang menuntut ini-itu. Dan Bapak/Ibu tetap mau melakukannya. Mengapa Bapak/Ibu tetap melakukannya?

Hari pertama saat Bapak/Ibu memutuskan menjadi seorang pendidik, Bapak/Ibu adalah orang yang paling pemberi. Lihatlah, guruku dulu. Pakaiannya lusuh. Biasa saja. Kalah dengan muridnya yang dandan dengan kosmetik terbaik. Guruku datang membawa sepeda ke sekolah, saat muridnya diantar memakai mobil. Mengapa Bapak/Ibu melakukannya?
Lihatlah beban hidup Bapak/Ibu, mungkin tidak terlihat oleh kami di sekolah atau di kampus, tetapi Bapak/Ibu tetap menjadi orang yang paling pemberi. Mengapa Bapak/Ibu melakukannya?

Saya rindu sekali. Oleh karena itu, saya memberikan pesan ini. Saya memberikan pesan kerinduan ini.

—————————————— OOO ———————————————-

Karena saya terlalu kagum dengan perjuangan Bapak/Ibu pendidik, Bapak/Ibu guru, Bapak/Ibu dosen, bolehkah saya ikut bergabung di barisan itu?

Belum layak, tapi saya akan belajar.