Sebagian besar tsunami secara historis yang tercatat disebabkan oleh aktivitas seismik, tetapi peristiwa tersebut juga dapat dipicu oleh fenomena yang terkait dengan letusan gunung berapi besar, seperti aliran piroklastik besar yang memasuki air (e.g. de Lange et al. 2001; Maeno & Imamura 2007), ledakan submarine (mis. Mader & Gittings 2006), kaldera runtuh (mis. Nomanbhoy & Satake 1995; Maeno et al. 2006) atau secara besar-besaran, pergeseran secara cepat yang memengaruhi air (mis. Tinti et al. 1999, 2000, 2006; Keating & McGuire 2000; Ward 2001; Harbitz et al. 2006; Fritz et al. 2008; Waythomas et al. 2009; Kelfoun et al. 2010).
Hampir 45 tahun setelah letusan dahsyat tahun 1883 ini, Anak Krakatau (‘Anak Krakatau’ dalam bahasa Indonesia) muncul dari laut di lokasi yang sama dengan bekas Krakatau, dan sejak itu telah tumbuh hingga ketinggian saat ini lebih dari 300 m (Hoffmann Rothe et al . 2006). Ini menunjukkan aktivitas yang sering, masih menimbulkan risiko bagi penduduk pesisir Jawa dan Sumatra, dan untuk rute pengiriman penting melalui Selat Sunda.
Setelah fase aktif Anak Krakatau pada tahun 1980, sebuah observatorium gunung berapi permanen didirikan di Pasauran di pantai barat Jawa, sekitar 50 km sebelah timur Kepulauan Krakatau. Seismometer jangka pendek yang ditempatkan di atas gunung berapi, kontrol visual, dan statistik peristiwa seismik harian digunakan untuk menentukan tingkat siaga saat ini, atas dasar mana pihak berwenang Indonesia memutuskan tentang tindakan pencegahan, kadang-kadang melarang pariwisata di sekitarnya kepulauan (Hoffmann-Rothe et al. 2006).
Salah satu kemungkinan bahaya besar yang muncul dari Anak Krakatau adalah tsunami yang dipicu oleh keruntuhannya, karena gunung berapi sebagian dibangun di atas dinding kaldera yang curam akibat letusan 1883. Tsunami kecil (setinggi 2 m) dialami di Pulau Rakata pada Oktober 1981 selama kebangkitan Anak Krakatau (Camus et al. 1987).
Dalam penelitian ini, pemodelan secara numerik mensimulasikan destabilisasi ke arah barat daya sebagian besar Gunung Api Anak Krakatau, dan pembentukan dan penyebaran tsunami berikutnya. Penelitian menunjukkan hasil mengenai waktu kedatangan dan amplitudo gelombang yang dihasilkan, baik di Selat Sunda dan di pantai Jawa dan Sumatra. Penelitian ini kemudian membahas hubungan antara morfologi Anak Krakatau, lokasi pulau-pulau sekitarnya, batimetri selat dan gelombang yang dipicu.
Beberapa daerah tidak pernah dimukimkan kembali sejak letusan tahun 1883 (misalnya SW di Jawa), tetapi banyak dari garis pantai itu sekarang berpenduduk padat, terutama di Bandar Lampung (sekitar 900.000 jiwa) di Sumatra, dan di pantai barat Cilegon Kabupaten (sekitar 400.000 jiwa) di Jawa (Gbr. 1).
Selain itu, banyak jalan di Jawa bagian barat dan Sumatra bagian selatan terletak di dekat laut dan pada ketinggian rendah (< 10 m), serta infrastruktur ekonomi yang penting seperti pembangkit listrik (misalnya Labuhan, Merak dan Banda Lampung) , industri (misalnya industri baja di Cilegon), pelabuhan utama yang menghubungkan Jawa dan Sumatra (Merak, Bakaheuni), dan resor wisata (misalnya Anyer, Kalianda). Ada juga beberapa anjungan minyak di selat, terutama di lepas pantai Jawa. Infrastruktur seperti itu akan berpotensi terkena dampak tsunami beberapa meter, seperti yang diproduksi selama letusan 1883.
Pada bulan Oktober 2007, pemerintah Indonesia merencanakan pembangunan jalan dan rel kereta api sepanjang 30 km antara pulau Sumatra dan Jawa (Jembatan Selat Sunda), melintasi Selat Sunda 26 km, di ketinggian 70 m dpl (di atas permukaan laut) ). Pada tahun 2009, studi ‘pra-kelayakan’ untuk proyek 10 miliar dolar ini selesai dan pembangunannya diharapkan dimulai pada 2012. Karena aktivitas seismik dan vulkanik di wilayah Sunda, proyek ini menghadapi banyak tantangan. Gunung berapi Krakatau terletak hanya 40 km dari jembatan di masa depan. Beberapa tumpukan jembatan mungkin menderita akibat tsunami yang melintasi Selat Sunda, oleh karena itu bahaya seperti itu perlu dikuantifikasi.
Anak Krakatau pertama kali bangkit dari laut pada tahun 1928, terletak tak jauh dari dinding NE yang curam di cekungan yang dibentuk oleh runtuhnya kaldera letusan Krakatau tahun 1883. Gunung berapi ini dibangun di mana lubang utama letusan 1883 seharusnya berada, sekitar pertengahan antara bekas kawah Danan dan Perbuatan (Deplus et al. 1995). Antara 1928 dan 1930, gunung berapi surut dan muncul kembali tiga kali sampai terbentuk secara permanen di atas permukaan laut. Pada tahun 1959, sebuah cincin tuff hyaloclastic setinggi 152 m dikembangkan (Sudradjat 1982) dan sebuah danau terbentuk di dalam kawah. Gaya letusan adalah Surtseyan selama periode 1928-1930 (Stehn 1929; Camus et al. 1987), kemudian Vulcanian hingga 1960, sebelum beralih ke ledakan Strombolian yang menciptakan kerucut yang mencapai ketinggian 200 m dpl di tahun 1981 (Oba et al. 1983).
Pada 1981, letusan Vulcan menandai pergeseran ke arah barat daya aktivitas Anak Krakatau (Sudrajat 1982) dengan produk vulkanik yang lebih terdiferensiasi (asam andesit, dasit) daripada yang sebelumnya meletus (terutama basal dan andesit sebelum 1981: Camus et al. 1987). Pada saat penulisan, letusan terbaru Anak Krakatau, yang dimulai pada tanggal 25 Oktober 2010, masih berlangsung, dengan awan abu tebal membentuk bulu-bulu setinggi 100-1000 m.
Runtuhnya Anak Krakatau Volcano disimulasikan pada model elevasi digital (DEM) yang diperoleh dengan menggabungkan topografi ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) (peta c. 30 m), peta batimetri (satu dari Dishidros Indonesian Navy dan sebuah Bagan navigasi Selat Sunda) dan batimetri GEBCO (General Bathymetric of the Oceans) (resolusi 900 m) dari seluruh wilayah Selat Sunda (Gbr. 1). Selain itu, peta batimetri Kepulauan Krakatau dari Deplus et al. (1995, gambar 7 mereka) didigitalkan dan ditambahkan ke DEM untuk mendapatkan resolusi yang lebih baik dari zona di mana keruntuhan terjadi dan di mana gelombang awalnya diproduksi (Gambar 2b).
Penelitian menggunakan kode numerik VolcFlow (Kelfoun et al. 2010; Giachetti et al. 2011) untuk mensimulasikan tanah longsor Anak Krakatau dan propagasi tsunami. Kode ini didasarkan pada pendekatan rata-rata kedalaman dua dimensi (2D), yang dimodifikasi untuk menggabungkan interaksi 3D dengan akurasi yang lebih besar; baik tanah longsor dan air laut disimulasikan menggunakan persamaan umum air dangkal dari konservasi massa dan keseimbangan momentum. Dalam model tersebut, air berinteraksi dengan batimetri / topografi dan banjir ke tanah, tetapi pemecah gelombang dan efek 3D orde kedua kompleks lainnya tidak diperhitungkan, dan erosi dan transportasi sedimen juga diabaikan.
Kota-kota yang terletak di pantai barat Jawa semuanya tersentuh oleh gelombang pertama antara 36 dan 47 menit setelah runtuhnya Anak Krakatau. Gelombang pertama mencapai Kalianda dan Bandar Lampung, yang terletak di Sumatra, 45 dan 68 menit setelah permulaan keruntuhan. Perhatikan bahwa di mana-mana di Selat Sunda panjang gelombang dari gelombang yang disimulasikan selalu lebih dari 25 kali kedalaman air. Ini menunjukkan bahwa penggunaan persamaan umum air dangkal dari konservasi massa dan keseimbangan momentum untuk mensimulasikan perambatan air sesuai dalam kasus ini (mis. Synolakis et al. 1997).
Profil ketinggian air berbeda dari satu kota ke kota lain, diperumit oleh banyak refleksi gelombang di seluruh Kepulauan Krakatau, serta di sekitar pantai Sumatra dan Jawa. Semua kota tersentuh oleh gelombang positif pertama dengan amplitudo berkisar antara 0,3 hingga 2,3 m, tetapi gelombang pertama ini tidak pernah menjadi yang tertinggi. Dekat Bandar Lampung dan Kalianda, amplitudo gelombang maksimum yang diukur masing-masing adalah 0,3 dan 2,7 m, dan kota-kota pesisir Jawa Barat umumnya dipengaruhi oleh gelombang dengan maksimum antara 1,2 m (Sumur) dan 3,4 m (Labuhan).
Dalam pemodelan tersebut, dinding Anak Krakatau yang terus tumbuh akan condong runtuh ke sisi barat daya bekas kaldera Krakatau 1883. Jika mengalami keruntuhan material sebesar 0,280 km3 saja, maka dapat memicu gelombang tsunami awal setinggi 43 meter. Gelombang tersebut dalam waktu kurang dari satu menit dapat mencapai Pulau Sertung, Panjang dan Rakata.
Gelombang kemudian menyebar secara radial dengan kecepatan rata-rata 80 sampai 110 km/jam dan mencapai pantai barat Jawa dalam waktu 35 sampai 45 menit setelah runtuhan. Kota-kota seperti Merak, Anyer dan Carita bakal terdampak tsunami dengan ketinggian maksimum 1,5 meter (Merak dan Panimbang) hingga 3,4 meter (Labuhan).
Menurut Thomas Giachetti, dkk., deteksi cepat dari lembaga observatorium gunung api bersama sistem peringatan di pantai sangat penting dalam mitigasi bencana tsunami akibat runtuhan dinding Anak Krakatau.
References
Terry, J. P. & Goff, J. (eds) 2012. Natural Hazards in the Asia–Pacific Region: Recent Advances and Emerging Concepts. Geological Society, London, Special Publications, 361, 79–90, http:// dx.doi.org/10.1144/SP361.7