ORANG-ORANG PROYEK : Beban Kultural Manusia Indonesia

Siapa yang tak kenal Ahmad Tohari? Atau jangan-jangan memang jarang ada yang menikmati sastra dari sastrawan yang telah mendunia itu. Novelnya laris di pasar internasional, dicetak dalam beragam bahasa asing. Adalah “Orang-orang Proyek”, salah satu novel yang melegenda dan penuh dengan rupa kejadian-kejadian di masyarakat kita.

Tak bisa dipungkiri, orang-orang proyek, begitu masyarakat kita mendengarnya, akan tergambar jamaah pekerja yang patut disalahkan karena mutu dan kualitas bahan bangunan yang rendah dan akhirnya mengakibatkan runtuh dan rusaknya infrastruktur yang baru saja dibangun.

Baru saja diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri 13 Desember 2015 lalu. Sebuah mega proyek yang dibangun dari tahun 2011 sampa 2014, bernama Bendungan Titab Ularan, yang dipegang oleh PT Nindya Karya dan PT Brantas Abibraya, mengalami keretakan pada senderan waduk sebagai akibat ledakan yang terjadi pada penutup air. Wajah para insinyur keairan tercoreng kembali. Apakah APBN senilai Rp486 miliar digunakan dengan semestinya? Siapa yang disalahkan? INSINYUR!

Ahmad Tohari dengan cerita lain dalam novelnya mengisahkan pembangunan jembatan untuk kepentingan masyarakat, namun akhirnya anggarannya menjadi bancakan bagi kepentingan politik, orang-orang pemerintah, dan sebagian masyarakat untuk berpesta pora. Seorang insinyur bernama Kabul yang memegang kendali proyek tersebut, yang juga mantan aktivis, dibuat gamang dengan kondisi tersebut. Bagaimana tidak? Ia terbayang betapa gagahnya jembatan yang akan ia bangun dengan kualitas terbaik namun harapannya hancur dikarenakan digerogotinya anggaran untuk kepentingan kaum penguasa orde baru. Di akhir pekerjaan proyek, ia memutuskan keluar sebagai pemegang proyek jembatan tersebut. Hal ini dikarenakan penguasa orde baru menginginkan jembatan cepat selesai namun menggunakan mutu bahan bangunan berkualitas rendah.

Kabul yang dari awal sampai akhir mempertahankan mutu bangunan, akhirnya harus terhempas dari pekerjaannya dikarenakan penguasa menekan dan mengancam Kabul dilaporkan ke aparat keamanan.
Sangat mudah menjebloskan insinyur-insinyur idealis ke dalam jeruji besi. Karena penguasa proyek, pemerintahan, Dinas PU, aparat keamanan dan penegak hukum adalah orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama. Sungguh hidup dalam lingkungan orang-orang proyek tidak mudah.
Dalam novel ini, di akhir cerita, jembatan yang dibayangkan akan berdiri gagah ditutup dikarenakan rusaknya lantai jembatan. Struktur pondasi sampai badan jembatan yang dikendalikan Kabul selama proyek berlangsung masih baik, namun struktur atasnya hancur karena mutu yang dipakai rendah. Siapa yang disalahkan? INSINYUR!

Inilah kita. Indonesia. Mau tidak mau. Budaya yang sudah terbangun selama lebih dari seperempat abad. Faktanya memang demikian. Angka korupsi di Indonesia menurun. Benar itu! Menurun ke anaknya. Menurun ke cucunya. Menurun ke cicitnya. Hebat bukan? Sialnya, insinyur-insinyur yang berpegang pada idealisme tidak bisa bertahan lebih lama di lingkungan seperti itu. Pertanyaannya masih sama. Apakah semua proyek yang ada di negara kita sebagian anggarannya adalah bancakan bagi kaum-kaum tertentu?

Undang-undang Nomor 18 tahun 1990 menyatakan bahwa usia harapan bangunan sekurang-kurangnya 10 tahun dari masa bangunan itu resmi didirikan. Jadi, jika kurang dari waktu itu bangunan rusak, masyarakat bisa menuntut. Namun, apakah mereka semua peduli? Tidak. Bahkan kita tidak mengetahuinya.

Angka kematian tunggal di jalan raya karena lubang jalan atau rusaknya jalan dikarenakan beberapa kerusakan lapisan permukaan seperti retak, pendarahan aspal, dan sebagainya mencapai angka yang tidak sedikit tiap tahunnya. Siapa yang salah? Masyarakat pasti setuju bahwa yang harus disalahkan adalah pengendaranya. Tetapi, bagaimana dengan jalan yang rusak? Itu salah insinyur juga bukan? Lebih tepatnya, salah dari kaum yang menggunakan anggaran pembangunan untuk bancakan. Masyarakat bisa menuntut karena itu. Tetapi, ah sudahlah. Beban masyarakat kita semakin banyak. Kalaupun tuntutan kepada Dinas PU dan kaumnya berjalan, birokrasinya akan memakan waktu lama dan kemudian terlupakan. Siapalah juga orang-orang yang meninggal itu. Keluarganya diberi setumpuk uang di meja makan saja akan diam.

Ahmad Tohari menambahkan anekdot di akhir pekerjaan panjang dan melelahkan dalam perjalanan cerita novel ini.

“Suatu saat di akhirat penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling berkunjung. Maka penghuni kedua tempat itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka, dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya daripada penghuni surga. Dan ketika dicari penyebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang-orang proyek.”

Rian Mantasa SP